Namaku Rafi. Aku siswa kelas XII di sebuah madrasah sederhana di pinggiran kota. Madrasah kami tak punya fasilitas mewah, ruang kelas masih beralas semen, dan perpustakaannya hanya berisi buku-buku usang. Tapi di balik pagar berkarat itu, aku menemukan arti sejati dari perjuangan.
Aku bukan anak orang kaya. Ayahku buruh bangunan, ibuku penjual gorengan. Sejak kecil, aku belajar bahwa hidup tak akan memberikan kemewahan begitu saja—semua harus diperjuangkan. Di madrasah ini, aku menemukan semangat yang tak pernah diajarkan oleh dunia luar: ikhlas, sabar, dan bersyukur.
Setiap pagi, aku berangkat ke madrasah dengan sepeda tua warisan kakek. Di kelas, aku selalu duduk di depan, bukan hanya karena ingin melihat papan tulis jelas, tapi karena aku haus ilmu. Tak peduli apa pelajarannya—Biologi, Bahasa Arab, Fisika, Hadis—aku menyimaknya dengan sungguh-sungguh. Bagiku, setiap ilmu adalah jembatan menuju masa depan.
Guru-guru kami bukan sembarangan. Mereka mungkin tak bergelar doktor, tapi ketulusan mereka luar biasa. Ustaz Hasyim, guru Tafsirku, selalu berkata, “Ilmu yang diberkahi bukan yang paling banyak, tapi yang paling bermanfaat.” Kalimat itu jadi pengingatku setiap kali merasa lelah.
Suatu hari, datang kabar bahwa ada seleksi beasiswa nasional untuk siswa berprestasi dari madrasah. Jumlahnya terbatas. Persaingannya ketat. Tapi aku tahu, ini bisa jadi pintu keluar dari keterbatasan.
Aku mulai belajar lebih keras. Malam-malam kulalui dengan membaca buku di bawah cahaya redup lampu minyak, karena listrik di rumah sering padam. Kadang aku menulis di halaman belakang agar tak mengganggu adik-adikku yang tidur. Ada kalanya aku hampir menyerah. Tapi setiap kali itu terjadi, aku ingat wajah ibuku yang lelah, dan aku bangkit lagi.
Hari pengumuman tiba. Di ruang guru, namaku disebut sebagai salah satu penerima beasiswa. Ibu menangis di pelukanku saat aku pulang membawa surat pengesahan. Itu pertama kalinya aku lihat beliau menangis bukan karena sedih, tapi karena bangga.
Kini, aku sedang mempersiapkan keberangkatan ke universitas impianku. Aku akan menjadi anak pertama di keluargaku yang kuliah. Tapi aku tak akan pernah melupakan pagar berkarat madrasah itu. Di sanalah segalanya dimulai.
Madrasah bukan penghalang untuk bermimpi. Justru dari tempat sederhana itulah, aku belajar bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Ilmu adalah cahaya, dan cahaya itu, kini, mulai menuntunku menembus gelapnya masa depan.
Latihan Soal OSN MTK Tingkat Kecamatan, Provinsi & Nasional
Latihan Soal OSN IPA Tingkat Kecamatan, Provinsi & Nasional
Soal OSN Jenjang SD-SMP-SMA
Lihat juga: