Meninjau Ulang Strategi Pembelajaran SBdP: Antara Idealitas dan Realitas. Seni Budaya dan Prakarya (SBdP) sering diposisikan sebagai mata pelajaran yang “menyenangkan” dan “ringan” dibandingkan pelajaran eksakta. Namun, anggapan ini justru menjadi tantangan tersendiri dalam membentuk strategi pembelajaran yang benar-benar impresif dan bermakna. Dalam praktiknya, banyak sekolah masih memandang SBdP sebagai pelengkap, bukan sebagai ruang utama pembentukan karakter, kreativitas, dan identitas budaya siswa. Maka, strategi pembelajaran yang impresif tidak cukup hanya dengan pendekatan kreatif—ia harus berangkat dari kesadaran akan realitas pendidikan, keterbatasan sumber daya, dan resistensi sistemik.
🧱 1. Kesenjangan Antara Kurikulum dan Implementasi
Kurikulum Merdeka, misalnya, telah membuka ruang bagi pendekatan berbasis proyek dan eksplorasi budaya lokal. Namun, dalam kenyataannya, banyak guru SBdP menghadapi kendala seperti:
• Minimnya fasilitas seni di sekolah.
• Beban administrasi yang tinggi.
• Kurangnya pelatihan pedagogis khusus untuk SBdP.
Strategi impresif yang dirancang secara ideal sering kali tidak dapat dijalankan karena guru harus berjuang dengan keterbatasan waktu, ruang, dan dukungan. Maka, strategi yang benar-benar efektif harus mempertimbangkan fleksibilitas dan adaptabilitas terhadap kondisi nyata di lapangan.
🧑🏫 2. Peran Guru sebagai Fasilitator Budaya, Bukan Sekadar Pengajar
Dalam SBdP, guru bukan hanya penyampai materi, tetapi juga fasilitator pengalaman budaya. Namun, banyak guru belum memiliki akses terhadap sumber daya budaya lokal atau jejaring dengan pelaku seni. Akibatnya, pembelajaran cenderung bersifat tekstual dan teoritis, bukan kontekstual dan eksploratif.
Strategi impresif seharusnya mendorong guru untuk:
• Menjadi penghubung antara siswa dan komunitas seni lokal.
• Mengembangkan pembelajaran berbasis pengalaman langsung, seperti kunjungan ke sanggar seni atau museum.
• Mengajak siswa berdialog dengan seniman atau pengrajin sebagai sumber belajar alternatif.
Namun, ini menuntut dukungan sistemik dari sekolah dan dinas pendidikan, bukan hanya inisiatif individu.
🧠 3. Tantangan dalam Menumbuhkan Belajar Mendalam
Belajar mendalam (deep learning) dalam SBdP menuntut keterlibatan emosional dan reflektif siswa. Namun, dalam budaya pendidikan yang masih menekankan hafalan dan nilai ujian, ruang untuk eksplorasi dan ekspresi diri sering kali terbatas. Siswa cenderung mencari “jawaban benar” daripada proses kreatif yang otentik.
Strategi impresif harus mampu menggeser paradigma ini dengan:
• Menekankan proses daripada hasil akhir.
• Memberikan ruang bagi kegagalan sebagai bagian dari proses belajar.
• Mengintegrasikan penilaian formatif yang mendorong refleksi dan dialog.
Namun, perubahan ini membutuhkan transformasi budaya belajar secara menyeluruh, bukan hanya metode mengajar.
📉 4. Seni dan Prakarya sebagai Wahana Kritik Sosial
Sudut pandang lain yang jarang diangkat adalah potensi SBdP sebagai ruang kritik sosial. Seni bukan hanya soal estetika, tetapi juga ekspresi terhadap isu-isu sosial, lingkungan, dan identitas. Sayangnya, pembelajaran SBdP di sekolah sering kali steril dari isu-isu aktual. Siswa diajak membuat karya, tetapi jarang diajak berpikir kritis tentang makna dan dampaknya.
Strategi impresif seharusnya membuka ruang bagi siswa untuk:
• Mengekspresikan pandangan mereka terhadap isu sosial melalui seni.
• Menggunakan prakarya sebagai solusi kreatif terhadap masalah lingkungan.
• Menyadari bahwa seni adalah alat perubahan, bukan sekadar hiburan.
Dengan pendekatan ini, SBdP menjadi lebih relevan dan transformatif bagi siswa.
🧭 5. Menghindari Romantisasi Budaya
Dalam upaya mengangkat budaya lokal, ada kecenderungan untuk meromantisasi tradisi tanpa mengkritisi konteksnya. Misalnya, siswa diajak membuat batik atau menari tarian tradisional, tetapi tidak diajak memahami sejarah, dinamika sosial, atau bahkan kontroversi di baliknya. Strategi impresif harus mendorong pendekatan yang kritis dan reflektif terhadap budaya, bukan sekadar pelestarian simbolik.
Siswa perlu diajak untuk:
• Memahami bahwa budaya bersifat dinamis dan bisa berubah.
• Mengkritisi praktik budaya yang mungkin tidak relevan atau bahkan problematik.
• Menciptakan bentuk seni baru yang tetap menghargai akar budaya tetapi relevan dengan zaman.
Penutup
Strategi impresif dalam pembelajaran SBdP tidak cukup hanya dengan pendekatan kreatif dan menyenangkan. Ia harus berani menantang sistem, membuka ruang kritik, dan mengakui kompleksitas budaya serta realitas pendidikan. Dengan sudut pandang yang lebih kritis dan reflektif, SBdP bisa menjadi ruang pembelajaran yang bukan hanya mendalam, tetapi juga membebaskan dan memberdayakan siswa sebagai subjek budaya yang aktif.
Perangkat Deep Learning Seni Budaya & Prakarya Kelas 11:
Seni Budaya
1. Seni Musik
2. Seni Rupa
Prakarya
1. Kerajinan
2. Pengolahan
Lihat juga: