Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah: Jangan Sekadar Mengagungkan Masa Lalu, Bangkitkan Kesadaran Masa Kini.
Gagasan bahwa pembelajaran mendalam dan penerapan praktis dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dapat membentuk pribadi siswa madrasah yang aktif dan berkelanjutan dalam belajar adalah sebuah ambisi yang patut diapresiasi. Namun, sebagai pendidik yang menyaksikan langsung dinamika kelas, saya merasa perlu menyampaikan pandangan yang lebih tajam: pelajaran SKI di madrasah terlalu sering terjebak dalam glorifikasi masa lalu, tanpa keberanian mengaitkannya dengan realitas masa kini dan tantangan masa depan.
Pertama, mari kita kritisi pendekatan yang dominan. SKI sering diajarkan sebagai kumpulan kisah heroik, nama-nama tokoh besar, dan kejayaan peradaban Islam yang seolah sempurna. Siswa diminta menghafal tahun berdirinya Dinasti Umayyah, nama panglima perang, atau lokasi penaklukan. Namun, mereka jarang diajak bertanya: “Mengapa peradaban itu runtuh?”, “Apa pelajaran dari konflik internal umat?”, atau “Bagaimana nilai-nilai sejarah itu bisa diterapkan dalam kehidupan modern?” Tanpa pertanyaan kritis, pembelajaran mendalam hanyalah slogan.
Kedua, penerapan praktis dalam PBM sering kali hanya bersifat kosmetik. Kegiatan seperti membuat poster tokoh Islam, drama sejarah, atau lomba cerdas cermat memang menarik, tetapi belum tentu membentuk pemahaman yang mendalam. Praktik yang bermakna seharusnya mengajak siswa untuk menelusuri jejak sejarah dalam kehidupan mereka: bagaimana semangat wakaf bisa diterapkan dalam gerakan sosial, bagaimana etika kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz bisa menjadi inspirasi bagi organisasi siswa, atau bagaimana toleransi di masa Andalusia bisa menjadi model hidup berdampingan di masyarakat multikultural.
Ketiga, kita perlu mengkritisi asumsi bahwa pembelajaran mendalam otomatis membentuk pribadi aktif. Aktivitas belajar yang aktif tidak akan muncul jika siswa tidak merasa relevansi antara pelajaran dan kehidupan mereka. Banyak siswa madrasah merasa SKI adalah pelajaran masa lalu yang tidak berhubungan dengan masa kini. Mereka tidak melihat bagaimana sejarah Islam bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan besar zaman ini: tentang keadilan sosial, krisis lingkungan, atau konflik identitas. Maka, sebelum bicara tentang metode, kita harus bicara tentang makna.
Keempat, guru SKI perlu berani keluar dari zona nyaman. Mengajar SKI bukan hanya menyampaikan narasi sejarah, tetapi membangun kesadaran sejarah. Ini berarti guru harus mengajak siswa berpikir kritis, berdialog lintas zaman, dan berani mengaitkan sejarah dengan isu kontemporer. Sayangnya, banyak guru masih terjebak dalam pola ceramah dan hafalan. Bahkan, dalam beberapa kasus, pertanyaan kritis siswa dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Dalam iklim seperti ini, pembelajaran mendalam tidak akan tumbuh.
Kelima, madrasah sebagai institusi harus berhenti memperlakukan SKI sebagai pelajaran pelengkap. SKI seharusnya menjadi ruang pembentukan identitas, nilai, dan kesadaran sosial siswa. Jika pelajaran ini hanya dijadikan alat untuk mengisi jam pelajaran atau mengejar nilai ujian, maka potensi transformatifnya akan hilang. Madrasah harus berani menjadikan SKI sebagai ruang refleksi, dialog, dan aksi sosial. Misalnya, mengintegrasikan pelajaran SKI dengan kegiatan pengabdian masyarakat, proyek sejarah lokal, atau forum diskusi lintas agama.
Namun, saya tidak menolak gagasan pembelajaran mendalam. Justru saya ingin menegaskan bahwa pendekatan ini hanya akan berhasil jika kita berani mengubah paradigma. SKI harus diajarkan bukan untuk mengenang kejayaan, tetapi untuk memahami dinamika peradaban. Siswa harus diajak melihat sejarah sebagai proses, bukan sebagai mitos. Mereka harus belajar bahwa Islam bukan hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang perjuangan, kegagalan, dan kebangkitan.
Sebagai penutup, saya ingin mengajak para pendidik madrasah untuk tidak terjebak dalam romantisme sejarah. Sejarah Kebudayaan Islam bukan hanya tentang masa lalu yang gemilang, tetapi tentang masa kini yang menantang dan masa depan yang harus dibangun. Pembelajaran mendalam dan penerapan praktis hanya akan bermakna jika kita berani menjadikan SKI sebagai ruang pembentukan kesadaran, bukan sekadar hafalan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita mengajar dengan keberanian, kejujuran, dan komitmen untuk membentuk generasi yang berpikir, bukan hanya mengingat.
Berikut Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) SKI Kelas 8 Lengkap dapat dilihat pada daftar informasi dibawah ini:
- Alur Tujuan Pembelajaran
- Capaian Pembelajaran
- Program Semester
- Program Tahunan
- Buku Ajar
- Jurnal
- KKTP
- LKPD
- Modul Ajar
- Panca Cinta