Menyoal Pembelajaran Mendalam dalam Pelajaran Seni: Antara Romantisme dan Realitas
Gagasan bahwa pembelajaran mendalam (deep learning) adalah pendekatan utama dalam pelajaran seni demi memudahkan siswa memahami informasi, dan bahwa guru wajib menerapkannya, terdengar ideal dan progresif. Namun, pandangan ini perlu dikritisi secara lebih tajam. Apakah benar pembelajaran mendalam adalah satu-satunya jalan terbaik dalam pendidikan seni? Apakah guru harus memikul beban penuh untuk memastikan siswa “mudah mencerna” setiap informasi? Di sinilah pentingnya kita membuka ruang untuk refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi yang sering kali diterima begitu saja dalam wacana pendidikan.
1. Seni Tidak Selalu Harus “Dimengerti”
Salah satu asumsi utama dalam pandangan sebelumnya adalah bahwa seni harus “dimengerti” oleh siswa. Padahal, kekuatan seni justru terletak pada kemampuannya untuk membangkitkan rasa, membuka ruang tafsir, dan menantang logika linier. Seni bukanlah teks pelajaran eksakta yang harus dicerna secara sistematis. Dalam banyak kasus, seni justru mengandung ambiguitas, absurditas, dan ketidakterdugaan yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Maka, menuntut siswa untuk “mencerna” setiap informasi dalam pelajaran seni bisa menjadi kontraproduktif—ia mereduksi seni menjadi sekadar objek kognitif, bukan pengalaman estetik yang utuh.
2. Pembelajaran Mendalam Bukan Solusi Tunggal
Pembelajaran mendalam memang menawarkan pendekatan yang reflektif dan kontekstual. Namun, menjadikannya sebagai satu-satunya pendekatan utama dalam pelajaran seni adalah bentuk reduksionisme pedagogis. Dalam praktiknya, siswa memiliki beragam gaya belajar, latar belakang budaya, dan kebutuhan emosional. Beberapa siswa mungkin berkembang melalui eksplorasi bebas (free exploration), sementara yang lain membutuhkan struktur dan teknik dasar terlebih dahulu. Pembelajaran mendalam yang terlalu berat pada refleksi dan kontekstualisasi bisa membuat siswa kehilangan spontanitas dan kegembiraan dalam berkarya. Seni juga butuh ruang bermain, bukan hanya ruang berpikir.
3. Beban Berlebih pada Guru
Pernyataan bahwa guru “wajib” menerapkan pembelajaran mendalam demi memudahkan siswa memahami informasi mengandung beban moral yang tidak proporsional. Dalam kenyataannya, guru seni di banyak sekolah menghadapi keterbatasan waktu, fasilitas, dan dukungan institusional. Menuntut mereka untuk selalu menerapkan pendekatan mendalam tanpa mempertimbangkan konteks struktural adalah bentuk idealisme yang bisa menjebak. Guru bukanlah mesin pedagogis yang bisa terus-menerus memfasilitasi refleksi mendalam. Mereka juga manusia yang bekerja dalam sistem yang sering kali tidak mendukung inovasi.
4. Seni sebagai Ruang Perlawanan, Bukan Sekadar Pembelajaran
Seni dalam pendidikan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai sarana pembelajaran, tetapi juga sebagai ruang perlawanan terhadap homogenisasi berpikir. Ketika pembelajaran mendalam dijadikan standar tunggal, ada risiko bahwa seni justru kehilangan daya subversifnya. Padahal, banyak karya seni besar lahir dari ketidakteraturan, dari kegagalan memahami, dari ketegangan antara ekspresi dan struktur. Maka, pelajaran seni seharusnya juga memberi ruang bagi ketidakpastian, kegagalan, dan bahkan kebingungan—karena di sanalah kreativitas tumbuh.
5. Alternatif: Pembelajaran Parsial dan Situasional
Daripada memaksakan pembelajaran mendalam sebagai pendekatan utama, lebih bijak jika guru seni diberi keleluasaan untuk memilih pendekatan yang sesuai dengan konteks kelas, karakter siswa, dan tujuan pembelajaran. Dalam beberapa sesi, mungkin pendekatan teknikal lebih relevan. Di sesi lain, pendekatan eksperimental atau bahkan kontemplatif bisa digunakan. Fleksibilitas pedagogis jauh lebih penting daripada dogmatisme metode.
Penutup: Menemukan Keseimbangan antara Makna dan Kebebasan
Pembelajaran mendalam dalam pelajaran seni memang menawarkan banyak potensi, tetapi ia bukanlah satu-satunya jalan. Seni adalah medan yang cair, penuh paradoks, dan tidak selalu bisa dijinakkan oleh kerangka pedagogis apa pun. Guru seni seharusnya tidak dibebani dengan kewajiban tunggal untuk membuat siswa “mengerti”, tetapi diberi kepercayaan untuk menciptakan ruang belajar yang otentik, bebas, dan bermakna. Dalam dunia yang semakin menstandarkan segalanya, pelajaran seni justru harus menjadi ruang yang membebaskan—bukan hanya mendalam, tetapi juga liar, jujur, dan manusiawi.
Berikut Perangkat Deep Learning Seni Budaya & Prakarya Kelas 8 lengkap dapat di unduh pada daftar informasi dibawah ini:
- ADM BUDIDAYA 8
- ADM KERAJINAN 8
- ADM PENGOLAHAN 8
- ADM REKAYASA 8
- ADM SENI MUSIK 8
- ADM SENI RUPA 8
- ADM SENI TARI 8
- ADM TEATER 8