Kepala Madrasah dan Tantangan Menanamkan Akhlak serta Pembelajaran Mendalam: Antara Kepemimpinan, Budaya, dan Transformasi
Sebagai kepala madrasah, saya memandang penanaman nilai akhlak dan pembelajaran mendalam bukan sekadar tugas guru atau bagian dari kurikulum, melainkan inti dari visi kelembagaan. Di tengah arus pendidikan yang semakin kompetitif dan serba teknis, madrasah harus berani tampil sebagai ruang pembentukan karakter dan pemaknaan ilmu. Namun, untuk mewujudkan itu, dibutuhkan kepemimpinan yang reflektif, budaya sekolah yang mendukung, dan keberanian untuk menantang rutinitas.
1. Akhlak: Dari Retorika Institusional ke Budaya Kolektif
Nilai akhlak sering kali menjadi jargon dalam visi dan misi madrasah. Namun, saya menyadari bahwa retorika tidak cukup. Akhlak harus menjadi budaya kolektif yang hidup dalam interaksi harian, keputusan kelembagaan, dan cara kita menyikapi konflik.
Sebagai kepala madrasah, saya menekankan bahwa:
• Akhlak bukan hanya urusan guru PAI atau akidah-akhlak, tetapi tanggung jawab seluruh warga madrasah—guru matematika, petugas kebersihan, hingga wali kelas.
• Keteladanan kelembagaan sangat penting. Jika guru diminta jujur, maka sistem keuangan madrasah harus transparan. Jika siswa diajarkan adab, maka cara guru diperlakukan juga harus beradab.
• Budaya akhlak dibentuk melalui kebijakan yang manusiawi, seperti sistem disiplin berbasis restoratif, penghargaan atas perilaku baik, dan ruang refleksi bagi siswa dan guru.
Saya percaya bahwa akhlak tidak bisa diajarkan secara dogmatis. Ia harus dialami, dirasakan, dan dipraktikkan dalam ekosistem yang mendukung.
2. Pembelajaran Mendalam: Menantang Budaya Permukaan
Pembelajaran mendalam menuntut siswa untuk memahami, mengaitkan, dan merefleksikan. Namun, saya melihat bahwa banyak guru terjebak dalam budaya permukaan: mengejar target silabus, menyiapkan soal ujian, dan menghindari pertanyaan kritis siswa.
Sebagai kepala madrasah, saya merasa perlu:
• Mereformasi cara supervisi pembelajaran. Saya tidak hanya menilai administrasi guru, tetapi juga kualitas interaksi, ruang dialog, dan kebermaknaan proses belajar.
• Mendorong guru untuk merancang pembelajaran berbasis proyek, refleksi, dan kontekstualisasi, meski itu berarti mengurangi tekanan pada capaian kognitif semata.
• Mengembangkan komunitas belajar guru lintas mata pelajaran, agar mereka saling berbagi praktik baik dan membangun pendekatan multidisipliner.
Saya juga menyadari bahwa pembelajaran mendalam tidak bisa terjadi jika guru tidak diberi ruang untuk berpikir, bereksperimen, dan gagal. Maka, saya berusaha menciptakan iklim yang mendukung inovasi, bukan sekadar kepatuhan.
3. Sinergi Akhlak dan Pembelajaran Mendalam: Pilar Pendidikan Madrasah
Saya percaya bahwa kekuatan madrasah terletak pada kemampuannya menggabungkan nilai dan ilmu. Akhlak memberi arah, pembelajaran mendalam memberi kedalaman. Keduanya harus berjalan bersama.
Contoh konkret yang saya dorong di madrasah kami:
• Tema lintas pelajaran berbasis nilai, seperti “Keadilan Sosial dalam Islam dan Matematika” atau “Etika Digital dalam Informatika dan Akhlak”.
• Kegiatan reflektif rutin, seperti jurnal harian siswa, forum dialog nilai, dan mentoring spiritual.
• Kegiatan sosial terstruktur, seperti bakti lingkungan, kampanye anti-hoaks, dan program literasi nilai.
Saya tidak ingin madrasah hanya mencetak siswa yang tahu definisi iman dan akhlak, tetapi yang mampu menghidupkan nilai itu dalam dunia nyata yang kompleks.
4. Kepemimpinan Transformatif: Dari Manajemen ke Perubahan Budaya
Sebagai kepala madrasah, saya tidak cukup menjadi manajer. Saya harus menjadi pemimpin perubahan. Ini berarti:
• Berani menantang rutinitas yang tidak mendidik, seperti ujian yang hanya mengukur hafalan atau sistem disiplin yang menakutkan.
• Membangun relasi yang manusiawi dengan guru dan siswa, agar mereka merasa dihargai, didengar, dan didampingi.
• Membuka ruang dialog kelembagaan, di mana guru bisa menyuarakan gagasan, siswa bisa menyampaikan kritik, dan orang tua bisa terlibat dalam proses pendidikan.
Saya percaya bahwa madrasah bukan hanya tempat belajar, tetapi ruang pembentukan peradaban. Maka, kepemimpinan saya harus berpijak pada nilai, berpikir sistemik, dan bertindak dengan keberanian.
Menanamkan nilai akhlak dan pembelajaran mendalam di madrasah bukan sekadar proyek kurikulum, tetapi gerakan budaya. Sebagai kepala madrasah, saya memilih untuk memimpin dengan refleksi, membangun dengan dialog, dan bergerak dengan semangat perubahan. Karena saya yakin, madrasah yang berani berubah akan melahirkan generasi yang tidak hanya tahu, tetapi juga bijak, tangguh, dan bermakna.
Berikut Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Akidah Akhlak Kelas 5 Lengkap !