Pendidikan Kewarganegaraan Bukan Satu-satunya Pondasi: Menimbang Ulang Strategi Menumbuhkan Cinta dan Bela Negara.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sering diposisikan sebagai tiang dan pondasi utama dalam membentuk sikap cinta tanah air dan bela negara di kalangan siswa. Pandangan ini menekankan bahwa melalui PKn, siswa dapat memahami nilai-nilai kebangsaan, sejarah perjuangan, dan sistem kenegaraan yang menjadi dasar identitas nasional. Namun, pandangan ini perlu ditinjau ulang secara kritis. Apakah PKn benar-benar menjadi satu-satunya atau bahkan yang paling efektif dalam menumbuhkan sikap cinta dan bela negara? Ataukah ada pendekatan lain yang lebih kontekstual, multidimensional, dan relevan dengan dinamika kehidupan siswa saat ini?
Pertama, perlu disadari bahwa cinta tanah air dan semangat bela negara bukanlah hasil dari pemahaman kognitif semata. Sikap tersebut tumbuh dari pengalaman nyata, keterlibatan sosial, dan relasi emosional yang dibangun secara berkelanjutan. Dalam banyak kasus, siswa lebih tergerak untuk mencintai bangsanya ketika mereka merasa dihargai, didengar, dan diberi ruang untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial. Artinya, pendidikan karakter, pendidikan sosial, dan pendidikan berbasis komunitas memiliki peran yang sama pentingnya—bahkan bisa lebih efektif—dalam membentuk sikap cinta dan bela negara dibandingkan PKn yang bersifat normatif dan teoritis.
Kedua, pendekatan belajar mendalam (deep learning) dalam PKn memang menjanjikan transformasi, tetapi sering kali terhambat oleh struktur kurikulum yang kaku dan beban administratif yang tinggi. Guru PKn di banyak sekolah dan madrasah masih terjebak dalam pola pembelajaran yang berorientasi pada ujian, hafalan, dan pengulangan materi. Dalam kondisi seperti ini, harapan agar PKn menjadi ruang reflektif dan transformatif sulit terwujud. Bahkan, siswa bisa merasa jenuh dan menjauh dari nilai-nilai kebangsaan karena pendekatan yang tidak kontekstual dan tidak menyentuh kehidupan mereka secara nyata.
Ketiga, cinta dan bela negara seharusnya tidak dibatasi oleh kerangka formal kenegaraan. Dalam konteks global dan multikultural saat ini, identitas kebangsaan bersifat cair dan kompleks. Siswa tidak hanya hidup sebagai warga negara Indonesia, tetapi juga sebagai warga dunia yang terhubung dengan berbagai nilai, budaya, dan tantangan global. Oleh karena itu, pendidikan yang menumbuhkan sikap cinta dan bela negara harus mampu mengintegrasikan perspektif global, nilai-nilai kemanusiaan universal, dan kesadaran ekologis. Pendidikan lingkungan, pendidikan multikultural, dan pendidikan hak asasi manusia bisa menjadi pintu masuk yang lebih relevan dan transformatif.
Keempat, dalam konteks madrasah, pendidikan agama memiliki potensi besar dalam membentuk karakter siswa yang cinta tanah air dan siap membela kebaikan bersama. Nilai-nilai seperti amanah, ukhuwah, keadilan, dan tanggung jawab sosial yang diajarkan dalam pelajaran akidah-akhlak, fiqih, dan SKI bisa menjadi pondasi yang kuat untuk membentuk sikap bela negara yang berbasis spiritualitas dan etika. Ketika siswa memahami bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman, dan membela keadilan adalah bentuk ibadah, maka semangat bela negara akan tumbuh dari dalam hati, bukan sekadar dari kewajiban formal.
Kelima, penting untuk mengakui bahwa sikap cinta dan bela negara tidak bisa dipaksakan melalui pendidikan formal saja. Banyak siswa yang justru belajar mencintai bangsanya melalui pengalaman hidup: melihat ketimpangan sosial, mengalami diskriminasi, atau menyaksikan perjuangan orang tua mereka. Dalam hal ini, pendidikan informal—melalui keluarga, komunitas, media, dan pengalaman sosial—memiliki peran yang sangat besar. Oleh karena itu, strategi pendidikan yang menumbuhkan cinta dan bela negara harus bersifat holistik, melibatkan seluruh ekosistem kehidupan siswa, bukan hanya ruang kelas PKn.
Terakhir, kita perlu berhati-hati agar semangat bela negara tidak berubah menjadi nasionalisme sempit atau sikap eksklusif yang menolak perbedaan. Pendidikan kewarganegaraan yang tidak kritis bisa melahirkan sikap fanatik, intoleran, dan anti-dialog. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan sikap bela negara yang berbasis pada nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan penghargaan terhadap keberagaman. Bela negara bukan berarti membela pemerintah secara buta, tetapi membela nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan yang menjadi fondasi bangsa.
Dengan demikian, meskipun PKn memiliki peran penting, ia bukan satu-satunya tiang dan pondasi dalam menumbuhkan sikap cinta dan bela negara. Kita perlu membuka ruang bagi pendekatan lain yang lebih kontekstual, reflektif, dan multidimensional. Pendidikan karakter, pendidikan agama, pendidikan sosial, dan pengalaman hidup siswa harus diintegrasikan secara sinergis untuk membentuk generasi madani yang tangguh, unggul, dan berjiwa kebangsaan yang inklusif.
Berikut Perangkat Deep Learning Pendidikan Pancasila Kelas 9 Lengkap dapat dilihat pada daftar informsi dibawah ini:
- Alur Tujuan Pembelajaran
- Capaian Pembelajaran
- Program Tahunan
- Program Semester
- KKTP
- Modul Ajar - Semester 1
- Modul Ajar - Semester 2