Ujian Sumatif di Sekolah Dasar: Perspektif Mahasiswa PGSD antara Teori, Praktik, dan Harapan
Sebagai mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), saya berada di persimpangan antara dunia teori pendidikan yang ideal dan realitas praktik pembelajaran di lapangan. Dalam proses perkuliahan, kami banyak mempelajari konsep-konsep pedagogis progresif seperti pembelajaran aktif, asesmen autentik, dan pendidikan yang memanusiakan. Namun, ketika menjalani program magang atau observasi di sekolah dasar, saya menyaksikan bahwa ujian sumatif masih menjadi instrumen utama dalam menilai kemampuan siswa. Hal ini menimbulkan pertanyaan reflektif: apakah ujian sumatif masih relevan di tengah tuntutan pendidikan abad ke-21?
Ujian Sumatif: Keniscayaan dalam Sistem Pendidikan Formal
Tidak dapat dipungkiri bahwa ujian sumatif memiliki fungsi penting dalam sistem pendidikan formal. Ia menjadi alat untuk menilai sejauh mana siswa telah menguasai kompetensi dasar yang ditetapkan dalam kurikulum. Dalam konteks sekolah dasar, ujian sumatif biasanya dilaksanakan di akhir tema, semester, atau tahun ajaran, dan hasilnya digunakan untuk menentukan nilai rapor, kelulusan, atau kenaikan kelas.
Sebagai calon guru, saya memahami bahwa guru membutuhkan data kuantitatif untuk memetakan capaian belajar siswa. Ujian sumatif memberikan gambaran umum yang dapat digunakan untuk merancang program remedial, pengayaan, atau pelaporan kepada orang tua. Dalam konteks ini, ujian sumatif berfungsi sebagai alat bantu pengambilan keputusan yang objektif dan terstandar.
Keterbatasan Ujian Sumatif dalam Menilai Keutuhan Anak
Namun, dari sudut pandang pedagogis, saya juga menyadari bahwa ujian sumatif memiliki keterbatasan yang signifikan. Ia cenderung menilai aspek kognitif secara sempit, terutama kemampuan mengingat dan memahami informasi dalam format tertentu. Padahal, siswa sekolah dasar sedang berada dalam fase perkembangan yang kompleks—mereka belajar membangun karakter, mengembangkan kreativitas, dan membentuk identitas diri.
Saya pernah mengamati seorang siswa yang sangat aktif dalam diskusi, suka bertanya, dan menunjukkan rasa ingin tahu tinggi. Namun, ketika menghadapi ujian tertulis, ia tampak cemas dan tidak mampu mengekspresikan pemahamannya dengan baik. Sebaliknya, ada siswa yang mampu menjawab soal dengan baik tetapi kurang menunjukkan partisipasi dalam proses belajar. Ini menunjukkan bahwa ujian sumatif tidak selalu mampu menangkap dinamika belajar yang sesungguhnya.
Sebagai mahasiswa PGSD, saya belajar bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada proses. Ujian sumatif yang hanya menilai hasil akhir berisiko mengabaikan proses belajar yang penuh makna, seperti kerja sama, ketekunan, dan refleksi diri.
Menuju Evaluasi yang Lebih Holistik dan Kontekstual
Dalam perkuliahan, kami diperkenalkan pada berbagai bentuk asesmen alternatif seperti asesmen formatif, portofolio, proyek, dan observasi. Bentuk-bentuk asesmen ini lebih mampu menangkap keberagaman potensi siswa dan memberikan gambaran yang lebih utuh tentang perkembangan mereka. Saya percaya bahwa ujian sumatif tetap diperlukan, tetapi harus dilengkapi dengan asesmen lain yang lebih kontekstual dan autentik.
Sebagai calon guru, saya ingin menjadi fasilitator yang mampu merancang evaluasi yang tidak hanya mengukur apa yang siswa tahu, tetapi juga bagaimana mereka berpikir, bekerja sama, dan bertumbuh. Saya ingin menciptakan ruang belajar yang membuat siswa merasa aman untuk mencoba, gagal, dan belajar kembali—bukan hanya mengejar nilai.
Saya juga percaya bahwa penting bagi guru untuk memberikan umpan balik yang membangun setelah ujian. Ujian tidak boleh menjadi akhir dari pembelajaran, melainkan awal dari refleksi dan perbaikan. Dengan pendekatan ini, ujian sumatif dapat menjadi bagian dari proses belajar yang bermakna.
Penutup: Harapan Mahasiswa PGSD untuk Masa Depan Evaluasi
Sebagai mahasiswa PGSD, saya memandang ujian sumatif sebagai bagian dari sistem pendidikan yang perlu terus dikaji dan disempurnakan. Ia memiliki fungsi penting dalam menjaga standar dan akuntabilitas, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan belajar. Pendidikan dasar seharusnya menjadi ruang yang membebaskan, bukan menekan; membina, bukan menghakimi.
Saya berharap ke depan, guru-guru sekolah dasar—termasuk saya dan teman-teman seangkatan—dapat menjadi agen perubahan yang mampu menghadirkan evaluasi yang lebih manusiawi, reflektif, dan berpihak pada anak. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan tentang siapa yang paling cepat menjawab soal, tetapi siapa yang paling tumbuh sebagai manusia.
STS 1 KELAS 6