Saluran Deep Learning -GABUNG SEKARANG !

STS & SAS Kelas 1

Ujian Sumatif sebagai Tolok Ukur Kemampuan Siswa Sekolah Dasar: Antara Keniscayaan dan Keterbatasan

STS & SAS Kelas 1

Ujian sumatif telah lama menjadi instrumen utama dalam sistem pendidikan formal, termasuk di jenjang sekolah dasar. Ia hadir sebagai bentuk evaluasi akhir yang bertujuan mengukur pencapaian belajar siswa setelah menyelesaikan suatu unit, tema, atau semester. Dalam praktiknya, ujian sumatif sering kali menjadi dasar penentuan nilai rapor, kenaikan kelas, hingga kelulusan. Namun, apakah ujian sumatif benar-benar mampu merepresentasikan kemampuan siswa secara utuh? Di sinilah pentingnya kita menelaah kembali peran dan relevansi ujian sumatif dalam konteks pendidikan dasar yang idealnya bersifat holistik dan berpusat pada siswa.

Fungsi dan Keunggulan Ujian Sumatif

Sebagai alat evaluasi, ujian sumatif memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, ia memberikan gambaran umum tentang sejauh mana siswa telah menguasai kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Dengan format yang terstandar, guru dapat membandingkan hasil antar siswa dan mengidentifikasi tren capaian kelas secara keseluruhan. Kedua, ujian sumatif relatif mudah diadministrasikan dan dinilai, terutama jika menggunakan pilihan ganda atau isian singkat. Hal ini memudahkan guru dalam mengelola waktu dan sumber daya, terutama di sekolah dengan jumlah siswa yang besar.

Ketiga, ujian sumatif juga berfungsi sebagai bentuk akuntabilitas. Sekolah dapat menunjukkan kepada orang tua, pemerintah, dan masyarakat bahwa proses pembelajaran menghasilkan output yang terukur. Dalam konteks kebijakan pendidikan, data dari ujian sumatif sering digunakan untuk evaluasi program, akreditasi sekolah, atau pemetaan mutu pendidikan.

Keterbatasan Ujian Sumatif: Mengukur atau Menyederhanakan?

Namun, di balik kepraktisannya, ujian sumatif menyimpan sejumlah keterbatasan yang perlu dicermati. Pertama, ujian sumatif cenderung menekankan aspek kognitif semata, terutama kemampuan mengingat dan memahami informasi. Padahal, pendidikan dasar tidak hanya bertujuan mencetak siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk karakter, keterampilan sosial, dan kemampuan berpikir kritis.

Kedua, ujian sumatif sering kali tidak mencerminkan proses belajar siswa secara menyeluruh. Seorang siswa yang aktif berdiskusi, kreatif dalam proyek, dan menunjukkan perkembangan signifikan dalam sikap belajar bisa saja mendapat nilai rendah karena tidak terbiasa dengan format soal atau mengalami kecemasan saat ujian. Sebaliknya, siswa yang pandai menghafal bisa memperoleh nilai tinggi tanpa benar-benar memahami konsep yang dipelajari.

Ketiga, ketergantungan pada ujian sumatif dapat menciptakan budaya belajar yang berorientasi pada hasil, bukan proses. Guru terdorong untuk "mengajar demi ujian", sementara siswa belajar hanya untuk lulus, bukan untuk memahami. Hal ini berpotensi mengerdilkan makna belajar sebagai proses eksplorasi, refleksi, dan pertumbuhan.

Menuju Evaluasi yang Lebih Holistik

Dalam konteks Kurikulum Merdeka dan semangat pembelajaran berdiferensiasi, sudah saatnya kita menempatkan ujian sumatif sebagai salah satu bagian dari sistem evaluasi yang lebih luas dan beragam. Evaluasi formatif, portofolio, observasi, proyek, dan asesmen autentik perlu mendapat porsi yang seimbang agar potensi siswa dapat tergali secara utuh.

Guru perlu diberdayakan untuk merancang instrumen evaluasi yang kontekstual, bermakna, dan sesuai dengan karakteristik siswa. Misalnya, alih-alih hanya menguji hafalan tentang tokoh sejarah, siswa dapat diminta membuat jurnal reflektif atau presentasi kreatif tentang nilai-nilai yang dapat dipetik dari perjuangan tokoh tersebut. Dalam pelajaran matematika, siswa bisa diminta memecahkan masalah nyata di lingkungan mereka, bukan sekadar menjawab soal hitungan.

Lebih jauh, evaluasi seharusnya menjadi alat untuk memfasilitasi pertumbuhan, bukan sekadar menghakimi. Umpan balik yang konstruktif, dialog antara guru dan siswa, serta pelibatan orang tua dalam memahami proses belajar anak menjadi kunci penting dalam membangun budaya belajar yang sehat.

Penutup: Menimbang Ulang Peran Ujian Sumatif

Ujian sumatif tetap memiliki tempat dalam sistem pendidikan, terutama sebagai alat untuk menilai capaian akhir dan merancang perbaikan pembelajaran. Namun, menjadikannya sebagai satu-satunya tolok ukur kemampuan siswa sekolah dasar adalah pendekatan yang sempit dan berisiko. Pendidikan dasar seharusnya menjadi fondasi bagi tumbuh kembang anak secara menyeluruh—kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Oleh karena itu, perlu ada pergeseran paradigma dari "belajar untuk ujian" menjadi "ujian untuk belajar". Ujian sumatif bukanlah tujuan akhir, melainkan bagian dari perjalanan panjang membentuk generasi pembelajar yang tangguh, reflektif, dan bermakna. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator pembelajaran dan agen perubahan menjadi sangat krusial.

STS 1 KELAS 1
   
 SAS 1 KELAS 1
 

Lihat Juga:

Posting Komentar

© DEEP LEARNING. All rights reserved. Developed by Jago Desain