Saluran Deep Learning -GABUNG SEKARANG !

Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Al-Quran Hadis Kelas 2 Lengkap !

Menimbang Ulang Dominasi Al-Qur’an dalam Pembelajaran Al-Qur’an Hadis di MI: Menuju Pendekatan Humanistik dan Kontekstual

Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Al-Quran Hadis Kelas 2 Lengkap ! - Proscar.Live

Gagasan bahwa Al-Qur’an harus menjadi hal utama dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan aspirasi luhur yang mencerminkan semangat religius dan idealisme pendidikan Islam. Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini perlu ditinjau ulang secara kritis agar tidak terjebak dalam romantisme spiritual yang mengabaikan kompleksitas perkembangan anak, kebutuhan kontekstual, dan dinamika pedagogi modern. Menjadikan Al-Qur’an sebagai pusat pembelajaran bukan berarti menempatkannya secara eksklusif atau dominan, melainkan secara proporsional, dialogis, dan relevan dengan kehidupan siswa.

1. Risiko Reduksi Makna: Dari Kitab Petunjuk Menjadi Objek Hafalan

Ketika Al-Qur’an dijadikan “hal utama” secara struktural dalam pembelajaran, sering kali terjadi reduksi makna: dari kitab petunjuk hidup menjadi sekadar objek hafalan dan penilaian. Siswa MI yang masih berada dalam tahap perkembangan kognitif dan afektif awal, cenderung mengalami pembelajaran yang bersifat mekanistik—menghafal ayat, menjawab soal, dan mengulang materi tanpa pemahaman mendalam. Ironisnya, pendekatan pembelajaran mendalam yang diusung justru bisa menjadi kontraproduktif jika tidak disertai dengan pemahaman psikopedagogik yang tepat. Anak-anak bukan miniatur orang dewasa; mereka membutuhkan pendekatan yang lebih bermain, eksploratif, dan emosional daripada sekadar reflektif dan analitis.

2. Al-Qur’an Hadis sebagai Ruang Dialog, Bukan Dominasi

Daripada menjadikan Al-Qur’an sebagai pusat tunggal, lebih bijak jika pelajaran Al-Qur’an Hadis di MI difungsikan sebagai ruang dialog antara teks dan konteks, antara wahyu dan realitas anak. Dalam pendekatan ini, ayat-ayat Al-Qur’an tidak diajarkan sebagai “kebenaran mutlak yang harus diterima”, tetapi sebagai inspirasi untuk bertanya, bereksplorasi, dan memahami dunia. Misalnya, QS. Al-Ma’un bukan hanya tentang memberi makan orang miskin, tetapi tentang memahami ketimpangan sosial, empati, dan keadilan dalam kehidupan anak-anak. Guru berperan sebagai fasilitator dialog, bukan pengarah makna tunggal.

3. Menghindari Spiritualitas yang Terlepas dari Realitas

Penanaman nilai Al-Qur’an yang terlalu idealistik berisiko menciptakan spiritualitas yang terlepas dari realitas. Anak-anak diajarkan untuk menjadi “baik” menurut ayat, tetapi tidak diajak memahami kompleksitas kehidupan nyata: konflik, ketidakadilan, keragaman, dan ambiguitas moral. Dalam konteks ini, pembelajaran mendalam harus membuka ruang bagi anak untuk mempertanyakan, mengalami, dan bahkan meragukan secara sehat—bukan sekadar menerima dan menginternalisasi. Pendidikan Islam yang humanistik justru menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi untuk berpikir kritis, bukan sebagai dogma yang membatasi nalar.

4. Perlu Integrasi dengan Mata Pelajaran Lain dan Kehidupan Sehari-hari

Menjadikan Al-Qur’an sebagai hal utama dalam pelajaran Al-Qur’an Hadis bisa menciptakan fragmentasi kurikulum jika tidak diintegrasikan dengan mata pelajaran lain. Padahal, nilai-nilai Al-Qur’an seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang bisa lebih efektif ditanamkan melalui pembelajaran tematik lintas mata pelajaran. Misalnya, pelajaran Matematika bisa mengajarkan keadilan dalam pembagian, pelajaran Bahasa Indonesia bisa mengangkat kisah-kisah inspiratif dari Al-Qur’an, dan pelajaran Seni Budaya bisa mengekspresikan nilai-nilai spiritual melalui karya kreatif. Dengan pendekatan ini, Al-Qur’an tidak menjadi “hal utama” secara eksklusif, tetapi menjadi ruh yang mengalir dalam seluruh proses pendidikan.

5. Guru sebagai Pendamping Emosional, Bukan Penafsir Tunggal

Dalam pendekatan pembelajaran mendalam, guru sering kali diposisikan sebagai penafsir makna ayat dan fasilitator refleksi. Namun, di MI, peran guru seharusnya lebih sebagai pendamping emosional yang memahami dunia anak, bukan hanya sebagai penyampai makna religius. Guru perlu mengembangkan kepekaan terhadap pengalaman hidup siswa, latar belakang keluarga, dan dinamika sosial mereka. Dengan demikian, pembelajaran Al-Qur’an Hadis menjadi lebih inklusif, empatik, dan relevan.

6. Menuju Pendidikan Islam yang Membebaskan

Pandangan alternatif ini mengajak kita untuk melihat pendidikan Al-Qur’an Hadis di MI bukan sebagai proses penanaman nilai secara vertikal dan satu arah, tetapi sebagai proses pembebasan: membebaskan anak dari ketidaktahuan, ketakutan, dan keterasingan dari nilai-nilai spiritual yang hidup. Al-Qur’an bukan hanya kitab yang dibaca, tetapi yang dialami, dipertanyakan, dan dihidupi. Dalam semangat ini, pembelajaran mendalam bukan tentang “memahami ayat secara reflektif”, tetapi tentang “mengalami nilai secara nyata”.

Berikut Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Al-Quran Hadist Kelas 2 Lengkap 

Posting Komentar

© DEEP LEARNING. All rights reserved. Developed by Jago Desain