Menyatukan Pengalaman dan Pedagogi: Refleksi Guru Fiqih Profesional terhadap Pembelajaran Fiqih di Madrasah Ibtidaiyah.
Sebagai guru fiqih yang telah lama mengajar di madrasah ibtidaiyah, saya telah menyaksikan langsung bagaimana anak-anak belajar, tumbuh, dan membentuk pemahaman keagamaan mereka dari hari ke hari. Saya percaya bahwa pembelajaran fiqih bukan sekadar proses transfer ilmu hukum Islam, tetapi juga proses pembentukan karakter, kebiasaan, dan kesadaran spiritual. Dalam pengalaman saya, pendekatan pembelajaran yang berhasil adalah yang mampu menjembatani antara praktik nyata dan pemaknaan mendalam—antara rutinitas dan refleksi.
Fiqih sebagai Pengalaman Hidup, Bukan Sekadar Materi
Selama bertahun-tahun mengajar, saya menyadari bahwa anak-anak tidak belajar fiqih hanya dari buku atau hafalan. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat, rasakan, dan alami. Ketika mereka melihat guru berwudhu dengan khusyuk, salat dengan tertib, dan berbicara dengan santun, mereka menangkap nilai fiqih secara utuh. Maka, keteladanan adalah kunci utama dalam pembelajaran fiqih di usia dini.
Namun, saya juga melihat bahwa anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka sering bertanya, “Kenapa kita harus salat lima waktu?”, “Mengapa kita tidak boleh makan saat puasa?” Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa pendekatan deep learning—yang menekankan pemahaman makna dan refleksi nilai—sangat relevan jika dilakukan secara bertahap dan kontekstual.
Menggabungkan Pembiasaan dan Pemaknaan
Dalam praktik saya, saya tidak memilih antara pendekatan behavioristik atau deep learning, tetapi menggabungkannya secara fleksibel. Di kelas rendah, saya lebih menekankan pembiasaan: anak-anak diajak praktik wudhu, salat, dan adab sehari-hari secara rutin. Saya menggunakan lagu, permainan, dan simulasi untuk membuat fiqih terasa menyenangkan dan mudah diingat.
Di kelas tinggi, saya mulai mengajak anak-anak berdiskusi dan merenung. Misalnya, saat membahas zakat, saya ajak mereka berbicara tentang pengalaman berbagi, melihat kondisi teman yang kurang mampu, dan memahami bahwa zakat adalah bentuk cinta dan keadilan. Saya gunakan cerita, gambar, dan studi kasus sederhana agar mereka bisa mengaitkan hukum fiqih dengan kehidupan nyata.
Pendekatan ini saya sebut sebagai “pendekatan bertahap dan bermakna”—dimulai dari praktik, lalu menuju pemahaman, dan akhirnya membentuk kesadaran.
Tantangan di Lapangan: Keterbatasan dan Harapan
Tentu saja, pendekatan ini tidak selalu mudah. Kami menghadapi keterbatasan waktu, kurikulum yang padat, dan tuntutan administrasi. Kadang saya harus menyelesaikan materi fiqih dalam waktu singkat, padahal anak-anak masih butuh waktu untuk memahami dan mempraktikkan. Di sisi lain, tidak semua guru memiliki latar belakang pedagogi yang kuat untuk menerapkan pendekatan reflektif.
Namun, saya percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Saya mulai dengan mengubah cara saya menyampaikan materi: dari sekadar membaca buku, menjadi mengajak anak berdialog. Saya ubah evaluasi dari soal pilihan ganda menjadi tugas praktik dan refleksi. Saya ajak anak-anak menulis jurnal fiqih, menggambar proses wudhu, atau membuat poster tentang adab makan.
Saya juga aktif berdiskusi dengan rekan guru, berbagi strategi, dan saling menguatkan. Kami membentuk komunitas belajar kecil di madrasah, di mana kami saling memberi masukan tentang pembelajaran fiqih yang bermakna.
Peran Guru Fiqih sebagai Pembimbing Jiwa
Sebagai guru fiqih, saya merasa bahwa tugas saya bukan hanya mengajarkan hukum, tetapi membimbing jiwa anak-anak. Saya ingin mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya tahu apa yang halal dan haram, tetapi juga memahami mengapa mereka memilih yang baik, dan bagaimana mereka bisa menjadi muslim yang peduli, jujur, dan bertanggung jawab.
Saya ingin fiqih menjadi cahaya dalam hidup mereka—bukan beban, bukan sekadar kewajiban. Saya ingin mereka merasa bahwa Islam adalah jalan hidup yang indah, penuh kasih sayang, dan relevan dengan dunia mereka.
Penutup: Fiqih sebagai Pendidikan yang Membumi
Pengalaman saya sebagai guru fiqih mengajarkan bahwa pendekatan terbaik adalah yang membumi—yang sesuai dengan perkembangan anak, kondisi madrasah, dan realitas guru. Pendekatan deep learning dan behavioristik bukanlah dua kutub yang bertentangan, tetapi dua alat yang harus digunakan secara bijak dan kontekstual.
Dengan keteladanan, kreativitas, dan komitmen, saya percaya bahwa pembelajaran fiqih di madrasah ibtidaiyah bisa menjadi pondasi kuat bagi generasi muslim yang berilmu, berakhlak, dan berdaya. Dan sebagai guru, saya akan terus belajar, berinovasi, dan mendampingi anak-anak dalam perjalanan spiritual mereka—dengan cinta, kesabaran, dan harapan.
Berikut Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Fiqih Kelas 5 Lengkap :
%20Fiqih%20Kelas%205%20Lengkap%20-%20proscar.live.jpg)