Menakar Pendekatan Deep Learning dan Behavioristik dalam Pembelajaran Fiqih di Madrasah Ibtidaiyah: Perspektif Akademik dan Praktis
Sebagai pengamat mata pelajaran fiqih dan dosen di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN), saya memandang bahwa pembelajaran fiqih di madrasah ibtidaiyah adalah medan strategis dalam membentuk fondasi keislaman anak sejak dini. Dua pendekatan yang sering diperdebatkan—yakni deep learning dan behavioristik—masing-masing memiliki kekuatan dan keterbatasan. Namun, dalam praktik pendidikan dasar Islam, pendekatan yang paling efektif bukanlah memilih salah satu secara mutlak, melainkan merancang sintesis pedagogis yang kontekstual, bertahap, dan adaptif terhadap perkembangan anak serta kapasitas guru.
Kekuatan Deep Learning: Menyemai Makna, Bukan Sekadar Hukum
Pendekatan deep learning menawarkan paradigma pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam, keterhubungan antar konsep, dan refleksi nilai. Dalam konteks fiqih, pendekatan ini memungkinkan anak memahami bahwa hukum Islam bukan sekadar aturan, melainkan ekspresi nilai-nilai spiritual, sosial, dan moral. Misalnya, dalam pembelajaran zakat, anak tidak hanya tahu bahwa zakat itu wajib, tetapi memahami bahwa zakat adalah bentuk kepedulian terhadap sesama dan mekanisme keadilan sosial dalam Islam.
Pendekatan ini sangat relevan dengan visi pendidikan Islam yang holistik, sebagaimana tercermin dalam konsep ta’dib dan tarbiyah, yang menekankan pembentukan akhlak, pemikiran, dan kesadaran spiritual. Dalam jangka panjang, deep learning dapat membentuk generasi yang tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga kritis, reflektif, dan berorientasi pada nilai.
Namun, pendekatan ini menuntut kesiapan guru, kurikulum yang fleksibel, dan lingkungan belajar yang mendukung dialog dan eksplorasi makna. Di sinilah tantangan besar muncul, terutama di madrasah ibtidaiyah yang masih menghadapi keterbatasan sumber daya dan pelatihan pedagogis.
Kekuatan Behavioristik: Membentuk Kebiasaan dan Keteladanan
Di sisi lain, pendekatan behavioristik yang menekankan pembiasaan, pengulangan, dan penguatan perilaku memiliki kekuatan tersendiri dalam pembelajaran fiqih dasar. Anak usia 7–12 tahun berada dalam tahap perkembangan kognitif konkret, di mana mereka lebih mudah memahami melalui contoh nyata, rutinitas, dan imitasi. Maka, pembelajaran fiqih melalui praktik langsung, keteladanan guru, dan penguatan positif menjadi sangat efektif.
Misalnya, anak yang rutin diajak salat berjamaah, berwudhu dengan benar, dan berbagi makanan kepada teman akan lebih cepat menyerap nilai-nilai fiqih daripada hanya diajak berdiskusi tentang makna ibadah. Pendekatan ini juga lebih mudah diterapkan oleh guru yang belum terbiasa dengan strategi reflektif dan dialogis.
Namun, pendekatan behavioristik memiliki keterbatasan dalam membentuk pemahaman yang mendalam. Anak bisa saja taat secara ritual, tetapi tidak memahami makna di balik tindakan tersebut. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan generasi yang formalistik dan kurang reflektif terhadap nilai-nilai Islam.
Sintesis Pedagogis: Pendekatan Spiral dan Kontekstual Bertahap
Sebagai akademisi, saya mendorong pendekatan sintesis yang menggabungkan kekuatan behavioristik dan deep learning secara bertahap dan kontekstual. Di kelas rendah (1–3), pembelajaran fiqih bisa lebih menekankan pembiasaan, praktik langsung, dan keteladanan. Di kelas tinggi (4–6), pendekatan deep learning mulai diperkenalkan melalui dialog, studi kasus, dan refleksi nilai.
Kurikulum fiqih perlu dirancang secara spiral, di mana konsep yang sama diajarkan berulang dengan kedalaman yang meningkat sesuai usia dan kemampuan berpikir anak. Misalnya, konsep thaharah diajarkan sebagai praktik di kelas 1, sebagai syarat ibadah di kelas 3, dan sebagai simbol kesucian spiritual di kelas 6.
Guru juga perlu didukung dengan pelatihan pedagogis yang membekali mereka dengan strategi reflektif, desain pembelajaran kontekstual, dan kemampuan mengelola dialog kelas. Buku ajar fiqih harus dirancang dengan pendekatan naratif, visual, dan berbasis kehidupan anak, bukan sekadar teks hukum.
Penutup: Pendidikan Fiqih sebagai Proyek Peradaban
Pembelajaran fiqih di madrasah ibtidaiyah bukan sekadar transmisi hukum, tetapi proyek peradaban yang menyemai nilai-nilai Islam sejak dini. Pendekatan deep learning dan behavioristik bukanlah kutub yang saling meniadakan, melainkan dua kutub yang harus disinergikan secara cerdas dan kontekstual. Dengan sintesis pedagogis yang tepat, kita dapat membentuk generasi madani yang taat, reflektif, dan berkarakter—sebuah cita-cita besar pendidikan Islam yang harus dimulai dari ruang kelas madrasah ibtidaiyah.
Berikut Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Fiqih Kelas 3 Lengkap :
%20Fiqih%20Kelas%203%20Lengkap%20-%20proscar.live.jpg)