Mewujudkan Pembelajaran Fiqih yang Bermakna dan Terukur: Perspektif Pengawas Madrasah
Sebagai pengawas madrasah, saya memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses pembelajaran di madrasah berjalan sesuai dengan standar mutu pendidikan Islam, sekaligus relevan dengan perkembangan peserta didik dan tuntutan zaman. Dalam konteks pembelajaran fiqih di madrasah ibtidaiyah, saya melihat bahwa pendekatan yang digunakan guru sangat menentukan arah pembentukan karakter dan pemahaman keagamaan anak. Dua pendekatan yang sering dibahas—deep learning dan behavioristik—perlu ditempatkan secara proporsional dalam kerangka sistem pembelajaran yang berorientasi pada hasil belajar yang bermakna dan terukur.
Fiqih sebagai Pilar Pendidikan Karakter
Fiqih bukan sekadar mata pelajaran normatif, tetapi merupakan instrumen pembentukan karakter Islami yang konkret. Di madrasah ibtidaiyah, fiqih menjadi pintu masuk bagi anak untuk mengenal Islam sebagai agama yang mengatur kehidupan sehari-hari. Maka, pembelajaran fiqih harus mampu menjawab dua hal: membentuk perilaku yang sesuai syariat dan menumbuhkan kesadaran spiritual yang mendalam.
Pendekatan behavioristik sangat efektif dalam membentuk perilaku melalui pembiasaan, penguatan, dan keteladanan. Anak-anak usia dini sangat responsif terhadap rutinitas dan contoh nyata. Namun, pendekatan ini tidak cukup untuk membentuk pemahaman yang tahan lama. Di sinilah pendekatan deep learning menjadi penting: anak diajak memahami makna di balik hukum, mengaitkan fiqih dengan kehidupan, dan membangun kesadaran nilai.
Sebagai pengawas, saya mendorong madrasah untuk tidak terjebak pada dikotomi pendekatan, tetapi mengembangkan model pembelajaran fiqih yang integratif dan bertahap.
Evaluasi Kesiapan Guru dan Lingkungan Belajar
Dalam supervisi saya, saya sering menemukan bahwa guru fiqih memiliki semangat tinggi dalam mengajarkan materi, tetapi belum sepenuhnya memahami strategi pedagogis yang mendalam. Banyak guru masih menggunakan metode ceramah dan hafalan, tanpa melibatkan anak dalam proses berpikir dan refleksi. Padahal, anak-anak memiliki potensi besar untuk memahami fiqih secara kontekstual jika diberikan ruang dialog dan eksplorasi.
Saya juga menilai bahwa lingkungan belajar madrasah perlu didesain untuk mendukung pembelajaran fiqih yang bermakna. Misalnya, ruang kelas yang memungkinkan simulasi praktik ibadah, perpustakaan dengan buku fiqih anak yang ilustratif, serta kegiatan ekstrakurikuler yang mengintegrasikan nilai-nilai fiqih seperti berbagi, kebersihan, dan tanggung jawab sosial.
Kurikulum dan Supervisi yang Adaptif
Kurikulum fiqih di madrasah ibtidaiyah harus dirancang secara spiral dan tematik. Artinya, materi fiqih diajarkan secara berulang dengan kedalaman yang meningkat sesuai usia anak. Misalnya, konsep thaharah diajarkan sebagai praktik di kelas 1, sebagai syarat ibadah di kelas 3, dan sebagai simbol kesucian spiritual di kelas 6. Pendekatan ini memungkinkan anak membangun pemahaman secara bertahap dan kontekstual.
Dalam supervisi kurikulum, saya mendorong guru untuk merancang RPP fiqih yang tidak hanya berisi indikator pengetahuan, tetapi juga indikator sikap dan keterampilan. Evaluasi pembelajaran fiqih harus mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Anak tidak hanya diuji hafalan, tetapi juga kemampuan praktik dan refleksi nilai.
Saya juga mendorong penggunaan asesmen alternatif seperti jurnal fiqih, proyek mini, dan observasi perilaku. Dengan cara ini, guru dapat melihat perkembangan pemahaman dan karakter anak secara lebih utuh.
Penguatan Kapasitas Guru dan Kolaborasi Madrasah
Sebagai pengawas, saya percaya bahwa peningkatan mutu pembelajaran fiqih harus dimulai dari penguatan kapasitas guru. Pelatihan pedagogi fiqih, workshop pendekatan deep learning, dan forum refleksi guru menjadi agenda penting dalam pembinaan madrasah. Guru perlu dibekali dengan strategi mengajar yang kontekstual, kreatif, dan berbasis nilai.
Saya juga mendorong kolaborasi antar madrasah untuk berbagi praktik baik dalam pembelajaran fiqih. Madrasah yang telah berhasil menerapkan pendekatan reflektif dapat menjadi model bagi madrasah lain. Dengan membangun komunitas belajar antar guru fiqih, kita dapat mempercepat transformasi pembelajaran fiqih yang bermakna.
Penutup: Fiqih sebagai Pendidikan Masa Depan
Pembelajaran fiqih di madrasah ibtidaiyah bukan hanya tentang masa kini, tetapi tentang masa depan generasi muslim. Kita sedang membentuk anak-anak yang kelak akan menjadi pemimpin, warga negara, dan insan beriman. Maka, pendekatan pembelajaran fiqih harus mampu membentuk perilaku yang benar, pemahaman yang mendalam, dan kesadaran yang berkelanjutan.
Sebagai pengawas madrasah, saya berkomitmen untuk terus mendorong inovasi, refleksi, dan kolaborasi dalam pembelajaran fiqih. Dengan guru yang profesional, kurikulum yang adaptif, dan lingkungan belajar yang mendukung, saya yakin fiqih akan menjadi cahaya pendidikan Islam yang membimbing anak-anak menuju kehidupan yang bermakna, berakhlak, dan berdaya.
Berikut Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Fiqih Kelas 6 Lengkap :
%20Fiqih%20Kelas%206%20Lengkap%20-%20proscar.live.jpg)