Meninjau Ulang Strategi Akhlak dan Pembelajaran Mendalam di Madrasah: Antara Harapan dan Realitas
Gagasan menanamkan nilai akhlak dan pembelajaran mendalam di madrasah memang terdengar ideal dan mulia. Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini sering kali terjebak dalam romantisme pendidikan yang kurang berpijak pada realitas sosial, struktural, dan psikologis peserta didik. Untuk itu, perlu ditawarkan sudut pandang berbeda yang lebih kritis, reflektif, dan membumi agar strategi yang dirancang benar-benar berdampak dan tidak sekadar menjadi jargon.
1. Akhlak: Antara Internalitas dan Kontrol Sosial
Nilai akhlak sering diposisikan sebagai inti pendidikan madrasah. Namun, dalam praktiknya, akhlak kerap direduksi menjadi seperangkat aturan perilaku yang harus ditaati, bukan nilai yang dipahami dan diinternalisasi. Akibatnya, siswa cenderung patuh secara formal, tetapi tidak memiliki kesadaran moral yang mendalam.
Sudut pandang alternatif menyoroti bahwa:
• Akhlak sebagai kontrol sosial: Banyak madrasah menggunakan akhlak sebagai alat disiplin, bukan sebagai proses pembentukan karakter. Ini berisiko menciptakan kepatuhan semu dan menghambat otonomi moral siswa.
• Keteladanan yang problematik: Guru sebagai teladan sering kali tidak mendapat ruang untuk refleksi diri. Ketika guru sendiri terjebak dalam tekanan administratif dan budaya otoriter, keteladanan menjadi formalitas belaka.
• Kritik terhadap moralitas tunggal: Akhlak yang diajarkan sering bersifat normatif dan tidak memberi ruang bagi keberagaman nilai atau pemikiran kritis. Padahal, dalam masyarakat yang kompleks, siswa perlu belajar menghadapi dilema moral dan berpikir etis secara kontekstual.
2. Pembelajaran Mendalam: Antara Retorika dan Keterbatasan Struktural
Pembelajaran mendalam menuntut pemahaman bermakna, keterkaitan dengan realitas, dan kemampuan berpikir reflektif. Namun, dalam konteks madrasah yang sering dibebani kurikulum padat, tuntutan ujian nasional, dan keterbatasan sumber daya, pendekatan ini sulit diterapkan secara konsisten.
Beberapa kritik yang perlu dipertimbangkan:
• Retorika tanpa dukungan sistemik: Banyak guru memahami pentingnya pembelajaran mendalam, tetapi tidak mendapat pelatihan, waktu, atau kebebasan kurikulum untuk menerapkannya.
• Kesenjangan antara ideal dan praktik: Siswa di madrasah sering berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Ketika pembelajaran mendalam menuntut literasi tinggi dan akses teknologi, siswa dari keluarga kurang mampu bisa tertinggal.
• Risiko elitisasi pembelajaran: Jika tidak dirancang secara inklusif, pembelajaran mendalam bisa menjadi domain siswa “unggulan” saja, sementara yang lain tetap terjebak dalam metode hafalan dan drill.
3. Sinergi Akhlak dan Pembelajaran Mendalam: Tantangan Paradigma
Menggabungkan akhlak dan pembelajaran mendalam memang terdengar ideal. Namun, pendekatan ini menuntut perubahan paradigma yang tidak mudah. Guru harus mampu menjadi fasilitator nilai dan pemikiran, bukan sekadar penyampai materi. Ini menuntut transformasi budaya sekolah yang mendalam.
Sudut pandang kritis menyoroti bahwa:
• Paradigma guru sebagai otoritas: Di banyak madrasah, guru masih diposisikan sebagai pemegang kebenaran mutlak. Ini menyulitkan dialog terbuka dan pembelajaran reflektif.
• Keterbatasan ruang dialog: Siswa sering tidak diberi ruang untuk mempertanyakan nilai atau mengaitkan dengan pengalaman hidup mereka. Akibatnya, pembelajaran menjadi tidak relevan dan tidak menyentuh kesadaran batin.
• Ketegangan antara nilai dan realitas: Siswa yang mengalami konflik keluarga, tekanan ekonomi, atau lingkungan sosial yang keras, sering kali kesulitan menginternalisasi nilai akhlak yang diajarkan secara idealis.
4. Alternatif Strategi: Dari Transmisi ke Transformasi
Daripada menekankan transmisi nilai dan konsep, madrasah perlu mengadopsi pendekatan transformasional yang berpusat pada pengalaman, dialog, dan kebermaknaan. Ini menuntut perubahan dalam cara guru mengajar, cara sekolah mengelola budaya, dan cara sistem mendukung inovasi.
Beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan:
• Pendidikan berbasis pengalaman hidup siswa: Akhlak dan pembelajaran mendalam harus berangkat dari realitas siswa, bukan sekadar teks kitab atau silabus.
• Dialog antar nilai: Siswa diajak berdialog antara nilai Islam dan tantangan zaman, seperti isu lingkungan, digitalisasi, dan keadilan sosial.
• Penguatan agensi guru dan siswa: Guru diberi ruang untuk bereksperimen, dan siswa diberi kepercayaan untuk menjadi subjek pembelajaran, bukan objek.
Sudut pandang alternatif ini tidak dimaksudkan untuk menafikan pentingnya akhlak dan pembelajaran mendalam, tetapi untuk menantang asumsi-asumsi yang sering tidak disadari. Dengan pendekatan yang lebih kritis dan kontekstual, madrasah dapat menjadi ruang pendidikan yang benar-benar membebaskan, membentuk karakter, dan relevan dengan zaman.
Berikut Perangkat Deep Learning Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Akidah Akhlak Kelas 2 Lengkap !